
Aku melangkahkan kaki dengan cepat di lantai rumah sakit. Jarak dari pintu utama menuju bangsal tempat ibu dirawat sekitar 300 meter. Aku ingin segera sampai di sana untuk menggantikan adikku menjaga Ibu. Sudah hampir 2 minggu Ibu kami tercinta terbaring lemah karena penyakit diabetesnya.
Hanya tinggal 5 meter lagi untuk sampai di ruangan itu aku melihat adikku menangis sesenggukan di depan pintunya. Kuhentikan langkah. Sepertinya aku dan Irma akan merasakan kepedihan yang sama seperti 10 tahun lalu saat Ayah meninggalkan kami untuk selamanya. Aku tak siap, Tuhan! Irma sebentar lagi akan menikah. Bagaimana rasanya menikah tanpa ditemani kedua orang tua? Tolong jangan, Tuhan!
Kakiku lemas seketika, aku masih belum berani mendekati adikku. Sampai kulihat seorang suster keluar dari kamar Ibu. Kupikir suster itu akan mengatakan sesuatu pada Irma, namun ternyata tidak. Perempuan itu berjalan melewatinya begitu saja. Adikku terus menangis di kursi tunggu, dia menunduk. Aku tak sanggup menguatkannya, karena aku sendiri pun tak sanggup menerima kenyataan ini.
Mengapa aku tidak menghubungi Beno? Dia calon suami adikku, pasti dia bisa menenangkannya. Aku yakin, tidak ada yang lebih tabah dari Beno di saat – saat seperti ini.
Angin bertiup cukup kencang, gemerisik suara daun membuat keadaan di sekitar menjadi sangat tidak nyaman. Aku mengeluarkan ponsel dari tas selempangku. Ternyata ada missed call dari Beno belasan kali. Pasti Beno ingin memberitahukan tentang kondisi Ibu. Kenapa aku bisa tak mendengar suara panggilan dari handphone-ku? Padahal sudah ku atur dengan volume paling kencang jika keadaan genting begini.
Aku mencoba menelepon Beno, namun tidak diangkat. Mungkin Beno sedang menuju ke sini. Kupikir tak ada salahnya jika aku mendekati adikku saja. Biar bagaimanapun dia pasti membutuhkanku, kakak satu-satunya. Aku menguatkan hatiku untuk menerima kabar dari bibir Adikku bahwa Ibu kami sudah menyusul Ayah ke Surga.
Aku mengambil posisi duduk di sebelah adikku. Mencoba menahan tangis, menarik napas panjang sebelum aku menyapanya.
“Irma, maaf mas terlambat,”
Adikku tidak menjawabnya. Dia tetap diam.
“Irma, bagaimana keadaan Ibu? Apa Ibu sudah …,”
Tiba-tiba aku mendengar langkah seseorang berlari ke arahku dan Irma. Ah, Beno. Dia sudah di sini.
“Mas!!!” Beno menangis sejadi-jadinya. Sementara Irma tetap bergeming.
Aku berdiri mendekati Beno, menepuk punggungnya pelan beberapa kali.
“Kita semua sedih, Ben. Kamu, aku, Irma.”
Beno menatap mataku. Aku bisa melihat dengan jelas kepedihan di dalam sana.
“Irma udah nggak ada, mas. Irma meninggal. Bajingan itu menabraknya dan lari. Sekarang Irma di kamar jenazah.”
Tubuhku seketika bergetar hebat. Dadaku sesak. Gila! Tidak mungkin. Aku segera membalikkan tubuh, mengarahkan pandangan ke kursi tunggu dan Irma sudah tak lagi duduk di sana.