Budak-Budak Dalam Negeri

Image : https://mediareformasi.com/menilik-sejarah-bendungan-pamarayan-baru-dan-lama-di-banten/

Topa menyesap rokok klobotnya dalam-dalam. Hidup sebagai penderita paru-paru akut, tak lantas membuatnya takut akan kematian. “Jaman ini, yang membuat mati bukan penyakit, tapi justru karena kecapekan,” selorohnya saat Siti, istrinya, mulai berisik mengingatkannya untuk berhenti merokok.

“Saya kepingin punya anak, Kang,” kata Siti yang kini sudah duduk di sebelah Topa sembari memijat punggungnya.

“Bagaimana mau punya anak, tiap pulang nari, kamu juga suka bilang capek,” sungut lelaki itu.

“Saya mau berhenti nari, Akang juga berhenti jadi tukang aduk-aduk semen,”

“Artinya kita berhenti makan,”

Siti menunduk, air mata sudah jatuh di paha mulusnya. Bayangan tentang kehidupan yang lebih baik setelah menikah masih belum juga nampak di pelupuk mata. Ini bukan hanya terjadi pada perkawinannya dengan Topa, yang memiliki nama asli Mustofa. Namun, kekelaman ini juga menjadi awan gelap bagi banyak pasangan muda lain terutama yang beristri cantik.

Topa mengangkat dagu Siti, menatap istrinya lamat-lamat. Jika saja ia juga perempuan, pasti akan ikut menangis bersama istrinya, namun sebagai laki-laki Topa masih punya harga diri. Ia malu pada kulit hitam legamnya.

“Sebentar lagi jembatan itu selesai, nanti Akang bawa kamu pindah dari sini, kita bertani, punya anak, hidup bahagia,”

Siti hanya mengangguk lemah, ia tidak yakin mereka akan bisa hidup tanpa bayang-bayang tentara berhidung tinggi yang sibuk mengatur rencana untuk perbudakan-perbudakan selanjutnya.

Dari atap gubuk mereka yang bolong, Topa bisa melihat langit hampir gelap. Sudah waktunya ia kembali ke Cikeusal kemudian pulang lagi ke gubuk mereka esok hari. Begitu terus alurnya, berulang, hingga jembatan yang diminta –oleh orang-orang yang bertubuh tegap dan berwajah pucat serupa mayat– menjadi imitasi bangunan kuil di Athenna itu berdiri sempurna.

Baja Juga :  Apa Saja yang Perlu Anda Ketahui Tentang Internet of Things

Siti bangkit dari duduknya, berganti pakaian menari, bersolek tipis-tipis hanya untuk menutupi bekas tangis.

“Ada tamu malam ini?” tanya Topa yang sudah memikul alat kerja dalam karung bekas jagung hasil upahnya.

“Ada, teman-teman mereka dari negaranya. Kapalnya singgah tadi pagi. Malam ini akan ada pesta. Tapi, Kang, nanti saya tambah banyak teman. Ada budak-budak dari Sulawesi dan Bali juga yang akan menari di sini. Lumayan, tugas saya sedikit ringan.”

Topa mengerutkan kening, betapa hebat kekuatan bangsa sialan itu di negeri ini, siapa pun bisa menjadi budak hanya perkara miskin, bodoh, dan rasa takut yang menguasai diri, sama sepertinya.

Topa mencium lembut kening istrinya, aroma kopi yang terakhir di sesapnya tercium kencang saat mengatakan, “Jaga dirimu, Akang sayang sama Siti.”

Siti lagi-lagi berupaya keras menahan bulir air matanya agar tak terjatuh, namun ia kembali gagal. Topa berangkat dengan perasaan yang campur aduk. Sedih, khawatir, marah, dan … dendam.

Dua malam setelah malam itu, Topa pulang dengan bau yang tidak karuan, bukan lagi sekadar bau matahari. Siti menyambutnya seperti biasa. Menyiapkan secangkir kopi dan sepiring Balok Menes untuk mereka santap berdua.

“Kamu kapan nari lagi?”

“Besok, Kang.”

“Nah, pas. Kemarin Akang ngobrol-ngobrol sama Acim dan Usep. Kami ada rencana tapi kamu mau bantu, nggak? Si Entin sama Jumariah juga disuruh bantu.” Jelas Topa menyebutkan nama istri kedua teman-temannya sesama budak yang juga ikut menari bersama Siti.

“Rencana apa, Kang?”

Topa membisikan sesuatu di telinga istrinya. Siti melotot, wajahnya mulai ketakutan.

“Akang jangan gitu. Dosa, Kang, Siti takut,” perempuan manis itu menjauhkan posisi duduknya dari Topa.

Baja Juga :  Memahami Cyberbullying dan Cyberstalking

“Yang kamu hadapi juga orang-orang yang lebih banyak dosanya dari pada kita, Akang jamin. Ini buat kita, buat semua teman-teman kita,”

Siti terdiam sejenak sambil terus memandang wajah Topa yang semakin gelap karena terbakar matahari. Namun, sorot mata Topa akhirnya membuat wanita itu luluh.

Topa menyerahkan sesuatu ke tangan Siti. Siti menerimanya kemudian menyimpannya di balik kemben yang membalut tubuhnya.

Malam ini keduanya bisa menikmati kebersamaan yang wajar sebagai suami istri. Bercinta dan tidur bersama.

Kabar mengejutkan tersebar hampir ke seluruh wilayah Serang. 7 pemimpin tentara hidung mancung tewas akibat diracun. Masih belum diketahui siapa pelakunya. Siti mencoba mengikuti arahan Topa agar bersikap seakan-akan tidak melakukannya. Begitu juga yang dilakukan Acim dan Asep pada istri mereka.

Sepekan berlalu, orang-orang asing itu tidak juga mengadakan pesta, Siti dan teman-temannya tidak diminta datang melayani para tamu. Orang-orang asing itu masih berduka, tak terbayangkan ternyata ada oknum budak yang begitu berani membuat perkara. Mata-mata dikerahkan untuk mencari tahu siapa dalang peristiwa ini.

Sampai akhirnya Siti tertangkap, juga Bersama Entin dan Jumariah, istri dari Acim dan Usep. Ia dijemput di gubuknya, Topa tidak sedang berada di sana, jadwalnya pria itu bekerja untuk pembangunan jembatan Pamayaran masih dijalankan. Tetap berada di Serang adalah salah satu taktik Topa dan ketiga temannya agar tidak ketahuan bahwa mereka adalah pelakunya. Kabur adalah sebuah kata kunci yang akan memudahkan orang-orang asing itu timbul curiga. Lagi pula bagaimana bisa melarikan diri jika jalan-jalan akses keluar wilayah dijaga ketat pasukan mereka. Negeri ini sudah terkepung.

Sepanjang jalan menuju tempat eksekusi, Siti diseret dengan kereta kuda, tubuhnya terpental berkali-kali dan terbanting ke tanah. Kainnya sobek, kepalanya penuh darah terbentur jalan yang berbatu. Sebuah penyiksaan awal yang menurut mereka tidak sebanding dengan kejahatan yang dilakukan perempuan polos itu pada pimpinan-pimpinannya. Sampai di kantor pemerintahan, tempat eksekusi hukuman akan dijalankan, Siti diikat dalam satu gulungan tali bersama ketiga rekannya. Tubuh yang sudah tak berbentuk karena dipukul habis-habisan tak juga membuat Siti jera hingga mengakui siapa yang bekerjasama dengannya. Siti benar-benar menjaga keselamatan nyawa suaminya. Sementara Entin dan Jumariah justru mengakui dengan lantang bahwa mereka hanya mengikuti arahan sang imam dalam rumah tangga.

Baja Juga :  Fiksi Mini - Pamit

Penangkapan Siti tidak diketahui banyak orang, termasuk Topa. Pria itu pulang dengan penuh kerinduan. Namun, kerinduan berubah menjadi kekhawatiran manakala seorang tetangga mengatakan bahwa Siti dibawa orang-orang berseragam tentara dengan cara yang tidak biasa. Topa yakin, tidak akan ada pesta di masa berduka. Siti bukan hendak menari, namun disiksa sampai mati.

Topa bergegas menuju lokasi eksekusi, berharap masih sempat menyelamatkan istrinya karena ide gilanya. Dalam hati ia berjanji, jika pun harus bertukar kepala, ia rela. Namun sayangnya Topa terlambat. Sebuah kepulan asap yang menimbulkan bau daging terbakar tercium olehnya dari jarak yang masih cukup jauh.

Orang-orang asing dengan ekspresi sadis dan dingin merokok santai di halaman muka kantor mereka, sambil menikmati pemandangan tiga orang wanita –bekas penari-penari mereka– yang sengaja dibakar hidup-hidup dan sudah hampir jadi abu. Siti mati bersama impiannya, mimpi yang pernah diucapkannya pada Topa, mimpi yang sebenarnya sudah ada dalam kandungannya.

Choose your Reaction!